
Komedi seks bukan genre baru dalam sejarah perfilman Indonesia. Sejak trio warkop, genre ini memang ceruk yang subur. Komedi berbumbu seks bisa dikenali dengan mudah lewat judul. Berkonotasi, provokatif, jika perlu menyulut kontroversi.
Fenomena ini mengingatkan orang pada film -film seks era-90-an yang menjual jual paha, dada, dan ranjang. Ulah produser film itu semula diklaim sebagai upaya mengatasi keterpurukan bioskop Indonesia. Tak heran muncul judul-judul seperti, Bebas Bercinta, Gairah Terlarang, Gejolak Nafsu, Ranjang Cinta, atau Permainan Erotik. Namun akhirnya, judul-judul itu tidak mampu menyelamatkan kondisi perfilman dari keterpurukan panjang.
Lantas benarkah judul menjadi kiat andalan merebut penonton, hingga harus provokatif? Jadi patut diduga, sejumlah rumah produksi boleh jadi menganggap judul provokatif sebagai jurus ampuh. Setelah kisah kocak gigolo dalam Quickie Express memetik sukses, genre komedi seks kian marak. Judul -judul pun kian bervariasi dan makin berani. Sebut saja film XL (Extra Large); Antara Aku, Kau dan Mak Erot atau film Namaku Dick. Kisah film XL sudah dapat ditebak dari judulnya, yakni tidak jauh dari urusan membesarkan alat vital.
Ada juga film Namaku Dick yang dibintangi Tora Sudiro -juga membintangi Quickie Express-, berkisah tentang seorang laki-laki yang bisa bercakap-cakap dengan alat kelaminnya. Dalam bahasa Inggris slang, "dick" adalah sebutan untuk alat kelamin pria. Lalu menyusulkan ML yang tak bisa dipungkiri berkonotasi "Making Love", meskipun di poster-posternya diperjelas sebagai singkatan "Mau Lagi".
Boleh jadi, genre komedi seks dilirik produser sebagai lahan menggiurkan setelah horor dan roman. Di Amerika, genre ini pun berkembang dengan film-film seperti American Pie, National Lampoon, dan Dorm Daze. Film komedi seks itu konon cukup laris di Hollywood, tapi tentu tidak bisa tayang di Indonesia.
Sebelum kasus ML muncul, tahun 2004 lalu, film Buruan Cium Gue juga bermasalah karena bersinggungan dengan unsur seks. Sebagian besar ulama, seperti KH Abdullah Gymnastiar, menyebutkan judul film ini seakan-akan persuasi untuk mengajak remaja untuk berzina. ga taunya Aa Gym ber poligami bok!
Sebuah judul memang jadi kemasan utama sebuah film, selain cerita, aktor dan sutradara. Judul adalah yang pertama kali dilihat calon penonton. Alhasil satu judul film tidak ditentukan oleh penulis skenario atau sutradara, produser cenderung lebih banyak memiliki porsi yang besar.
Judul dan materi film memang jadi sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan. Tetapi di Indonesia, pakem itu tidak selamanya berlaku. Kadang film dengan judul "mengundang" visualnya justru tidak ada apa-apa, sedangkan judul yang biasa saja tetapi isinya sarat dengan visual vulgar. Jadi sulit menerka kualitas film Indonesia hanya dengan membaca judulnya saja.
trik menarik perhatian dengan menyisipkan unsur seks di dalam sebuah film (judul dan materi) adalah hal yang klasik. Trik ini bisa masuk di semua genre film, baik drama, aksi, petualangan, atau horor. Kecuali saja film anak-anak tentunya.
Dalam genre komedi, unsur seks kadang kala menjadi menu utama. Guyonan yang nyerempet-nyerempet urusan seks menjadi sebuah senjata yang terbukti ampuh. Hal ini pernah dibuktikan dengan keunggulan trio Warkop DKI, Dono Kasino, dan Indro dalam kemasan cerita film-film mereka.
Contoh lain adalah film Inem Pelayan Sexy (1976) yang disutradarai oleh Nya Abbas Akup. Film ini memperoleh Piala Antemas dalam ajang FFI 1978 karena berhasil menjadi film terlaris pada 1977 kala itu.
Pada era '70-an muncul judul-judul seperti Ratu Ular (1972), Tiada Jalan Lain (1972), Bumi Makin Panas (1973), Pengakuan Seorang Perempuan (1974), Rahasia Perawan (1975), Ciuman Beracun (1976), Gadis Panggilan (1976), Ganasnya Nafsu (1976), Tragedi Tante Sex (1976) dan Tinggal Bersama (1977).
Ada juga produser-produser mencari jalan tengah dengan mengubah judul dan merevisi beberapa adegan. Seperti film Sex Maniac (1976) berubah judulnya menjadi Ciuman Beracun, film Tante Sex yang berganti Tante Sex dan Semen Leven yang berubah jadi Tinggal Bersama.
buseeed judul2 nya super super 'MAUT' huheueheue
Di era '80 an semarak pameran paha atau dada tidak surut. Era ini pun memunculkan bintang-bintang panas seperti Enny Beatrick, dan Eva Arnaz. Di akhir 1980-an, beredar film yang kontroversial, yakni Pembalasan Ratu Laut Selatan (1989) yang dibintangi Yurike Prastica.
Dekade '90-an adegan seks di layar lebar semakin menggeliat. Hal ini terlihat dari judul-judul film yang digunakan. Pada era itu judul film yang menggunakan kata "gairah" tercatat ada 13 judul, seperti Gairah dan Dosa, Gairah 100%, Gairah Binal, Gairah malam, Gairah Malam Yang kedua, Gairah Malam Yang Ketiga, Gairah Membara, Gairah Perawan dan sebagainya.
Di era ini pun muncul bintang-bintang seperti Inneke Koesherawati, Malvin Shayna, Sally Marcellina, Windy Chindyana, Febby Lawrence, Gitty Srinita, Leila Anggraini, Taffana Dewi. Sementara aktor yang melejit adalah Rhenaldi dan Ibra Azhari. Materi seks di era ini tercatat lebih "berani" dari era-era sebelumnya. Inneke Koesherawati dan Malfin Shayna harus melakukan adegan lesbian di kolam renang dalam film Pergaulan Metropolis (1984).
Film-film itu mungkin memiliki muatan seks yang terlalu vulgar. Ada juga contoh film yang menyisipi seks dengan halus dan berbungkus komedi seperti yang dilakukan trio Warung Kopi (Warkop DKI) dalam film-filmnya. bahkan beberapa judul yang digunakan Warkop juga sering kali berkonotasi "nyerempet", seperti Maju Kena, Mundur Kena, atau Atas Boleh, Bawah Boleh. Menariknya film-film Warkop justru selalu berhasil menarik pemirsa TV pada saat Idul Fitri...kayaknya sih itung2 'penyegaran' selepas 1 bulan berpuasa ramadhan kale yeee...