

Anda berada di sebuah ruang gelap. Di hadapan Anda, tampak seorang perempuan muda sedang menyusuri kamar-kamar kosong dan gelap. Wajahnya tampak ketakutan. Ia merasa ada yang mengikuti, atau ada yang tersembunyi di rumah itu. Perempuan muda itu menengok ke kanan, ke kiri, dengan cemas. Anda sendiri tahu pasti, sangat pasti, bahwa sesuatu akan terjadi. Perempuan itu tiba-tiba tercekat, ia menyadari sesuatu. Dan tiba-tiba....AAARGGH!!
Anda tentu akrab dengan suasana di atas. Ya, setelah adegan mengagetkan di atas lewat (barangkali si perempuan muda itu selamat, mungkin juga mengalami nasib mengerikan), Anda akan mesem-mesem dan menengok ke kanan dan ke kiri Anda, sesama penonton, biasanya teman-teman Anda (menonton film macam begini paling enak ramai-ramai dengan teman, bukan?).
Film horor juga tumbuh jadi bisnis yang penting. Saat ini saja, yakni pada 8 tahun terakhir, industri film Indonesia seperti didominasi oleh film horor. Film-film terlaris di Indonesia sejak 2001 hingga kini, banyak ditempati oleh film-film horor –di samping film-film cinta remaja setelah sukses besar Ada Apa Dengan Cinta? (2001, Rudi Soedjarwo).
Sebetulnya, ada persamaan antara Ada Apa Dengan Cinta? dan Jelangkung: keduanya ditujukan untuk pasar remaja! Istilah pasarnya, “teen flick”. Film-film begini, mengasumsikan bahwa penonton terbanyak di bioskop-bioskop yang ada dalam mal adalah para remaja/ABG (Anak Baru Gede). Pasar ini menguntungkan: mereka konsumtif, dan selalu menonton ramai-ramai. Untuk melayani pasar ini, dirancanglah serangkaian pakem: tokoh-tokohnya harus remaja, cerita harus sederhana tapi mengalir cepat, soundtrack yang dinamis, dan sebagainya. Ada pun kebangkitan teen-horror-flick pada 1990-an sampai 2000-an ini, bisa dirujuk pada keberhasilan komersial Scream (1996, Wes Craven). Film ini berhasil menyegarkan kembali film-film horor/slasher yang sudah ‘basi’ karena terlalu banyak dibuat, dengan rumus-rumus yang sudah gampang ditebak, sejak marak pada 1980-an.
Jangan kira ini hanya terjadi di Indonesia saja. Sejak sukses Ringu (1997, Hideo Nakata), dunia seperti dilanda demam J-Horror, hingga kini. Sampai-sampai Hollywood begitu bergairah membuat ulang banyak film-film horor dari Jepang, dirancang sebagai film-film box offices dengan bintang-bintang populer. Bahkan, tak hanya Jepang, belahan Asia Timur lainnya pun mengalami “kebangkitan film horor”, yang memengaruhi lanskap industri film dunia: Thailand, Korea, dan Hongkong.
Bukan hanya demam remake, beberapa sutradara generasi baru di Hollywood agaknya tertarik mengeksplorasi film horor sebagai wilayah kreatif mereka. Demikian juga di Australia dan Inggris –namun kedua domain film dunia itu relatif lekat dengan industri Hollywood juga, jadi dianggap satu bagian. Ada sutradara muda macam Eli Roth, yang sukses dengan horor indie-nya, Cabin Fever, dan menggarap Hostel yang sensasional karena sangat sadis –dan laris!
Barangkali, para sutradara itu terinspirasi oleh sukses The Sixth Sense (1999, M. Night Shyamalan) yang meraup penjualan sebesar 293,5 juta dollar di Amerika saja. Film berbujet kecil ini bukan hanya sukses secara komersial, tapi dianggap memuaskan secara intelektual. Film ini seperti membuka kembali kemungkinan eksploratif/artistik dalam film horor, seperti leluhur mereka –film-film horor di awal abad ke-20 yang bermutu artistik tinggi, dan diakui hingga kini. Atau, mungkin juga, para sutradara itu sekadar mau having fun saja, bersenang-senang dengan medium asyik bernama film ini.
Setiap masa punya horornya sendiri. Setiap masyarakat, setiap budaya, punya definisi sendiri tentang apa yang mereka anggap sebagai menyeramkan. Maka demikianlah, setiap masa melahirkan kisah-kisah horornya sendiri. Begitulah pula mengapa film horor dari masa ke masa, atau dari satu tempat ke tempat lain, punya kadar keseraman yang berbeda-beda.
Kadang, ada film-film yang menyentuh syaraf ngeri seolah secara universal –melintas waktu dan tempat (budaya). Elemen-elemen tertentu dalam film, apalagi yang dihidupkan dalam bioskop, dapat dieksploitasi untuk menghasilkan efek menakutkan pada penonton secara umum. Misalnya, suara. Musik bernada rendah, seringkali dari alat-alat gesek atau organ, lazimnya memberi suasana spooky atau angker. Jika tiba-tiba musik itu menjadi bising yang mengejutkan, atau meninggi nada dan suaranya, maka rasa takut pada penonton pun akan terpancing. Ingat, misalnya, musik yang bagai menjerit-jerit pada adegan shower dalam film Psycho (Sutradara: Alfred Hitchcock).