

Yang pasti, film superhero bukanlah hal baru buat jagad sinema kita. Ya, sineas negeri ini pernah membuat film superhero, film yang bertema pahlawan berkekuatan super macam Superman atau Spider-Man. Pada 1974, sineas kita melahirkan Rama Superman Indonesia (Frans Totok). Judulnya sudah bercerita film ini berkisah tentang apa dan siapa. Tapi tak ada salahnya dikisahkan kembali. Alkisah, Andi (Boy Shahlani) seorang penjaja koran yang mendapat jimat kupu-kupu emas. Bila jimat itu dicium, ia bisa berubah jadi superhero yang bisa terbang, berkostum bak Superman, bernama Rama (diperankan August Melasz). Rama sering membantu orang yang kesusahan hingga jadi berita di koran. Kemudian, film mengisahkan pertautan Rama dengan wanita bernama Lia (Jenny Rachman), putri Profesor Hartoyo (Djauhari Effendi). Sang profesor jadi incaran komplotan penjahat Naga Hitam lantaran formula temuannya, yang bisa membuat bahan peledak berkekuatan sangat tinggi. Usaha merebut formula itu selalu digagalkan Rama. Karena gagal, Lia diculik. Rama muncul menyelesaikan masalah.
Selang tujuh tahun kemudian giliran lahir Gundala Putra Petir (1981, Lilik Sudijo) dari tangan sineas kita. Kisahnya seputar Sancoko (Teddy Purba), seorang ilmuwan bergelar insinyur, berubah jadi Gundala, sang pahlawan berkekuatan super. Awalnya, Sancoko diam-diam menyuntikkan cairan anti petir. Hasilnya luar biasa. Tubuhnya jadi tahan terhadap arus listrik dan punya kekuatan luar biasa hal ini juga berkat bimbingan gurunya, Dewa Petir (Pitrajaya Burnama). Kehebatan Sancoko sampai ke telinga Gasul (WD Mochtar), seorang gembong narkotik. Bersama beberapa kawannya Gasul menculik Sancoko, memintanya menciptakan ramuan heroin sintetis. Minarti (Anna Tarias), tunangan Sancoko, dan Prof. Saelan (Ami Prijono) ikut diculik. Sancoko tetap bungkam dan menolak permintaan kawanan penjahat itu. Belakangan diketahui, dalang kejahatan itu Ir. Agus (August Melasz) rekan Sancoko sendiri.
Rama Superman Indonesia lahir empat tahun lebih dulu dari film Superman (1978) karya Richard Donner yang mempopulerkan Christopher Reeve sebagai Superman. Di Amerika sana, Superman versi layar lebar hadir menandai era kebangkitan film-film superhero. Sebelumnya, genre ini kurang dilirik sineas Amerika. Kisah superhero hanya cocok jadi tontonan televisi di rumah (serial televisi Superman dan Batman populer di tahun 1950-an dan 1960-an).
Kisah Superman layar lebar berlanjut hingga sekuel keempat di tahun 1980-an. Semakin bilangannya bertambah, kisah Superman versi layar lebar makin rendah mutunya dan o rang mulai jenuh dengan kisah manusia super dari planet Krypton ini. Meski begitu, bukan berarti genre ini ikut jenuh. Hollywood lantas menyodorkan sosok superhero baru Batman (Tim Burton) di penghujung 1980-an. Sosok Batman kemudian hadir sepanjang dekade 1990-an. Namun, lagi-lagi sekuel Batman makin buruk (rilisan 1997 [Batman & Robin] malah dianugerahi Razzie Awards, Oscar-nya film-film buruk).
Kelahiran kisah Superman versi Indonesia tak membangkitkan sineas lain untuk mengeksplorasi genre ini lebih jauh. Terbukti, sejak Rama hadir film-film bergenre superhero hanya muncul sesekali. Selain Gundala Putra Petir, ada DarnaAjaib (1980, Lilik Sudijo) yang berkisah tentang anak ajaib berkekuatan super. Lalu hadir pula Manusia 6 Juta Dollar (1981, Ali Shahab) dan Gadis Bionik (1982, Ali Shahab). Dua film yang disebut terakhir ini lahir menyusul kepopuleran serial televisi populer waktu itu. Manusia 6 Juta Dollar merupakan versi parodi dengan Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro) sebagai bintang utamanya. Sedangkan Gadis Bionik memasang (keseksian) Eva Arnaz sebagai jualan utama.
tak lupa era maraknya dunia sinetron ada :
1. panji manusia millenium (primus yustisio)
2. saras 008
dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar