Jumat, 17 Juli 2009

\ mendadak alim \



Disadari atau tidak, televisi saat ini memang menjelma menjadi sebuah kotak hiburan yang ajaib. Televisi mampu menawarkan impresi hiburan yang lebih baik dari media apapun. Bahkan fungsi hiburan ini begitu kental, melebihi fungsi pendidikan dan informasi misalnya.

Fungsi hiburan ini tidak berdiri sendiri, melainkan amat bergantung pula pada parameter keinginan masyarakat. Sebuah parameter yang mampu menerjemahkan keinginan dan minat masyarakat akan sebuah model program pada suatu waktu tertentu. Di sinilah rating, rating kuantitatif tepatnya, menempati posisi penting dalam industri hiburan televisi. Dia menjadi semacam petunjuk ke arah mana industri televisi harus melangkah. Atau bahkan dalam bahasa yang sedikit ekstrim, rating telah menjadi tuhannya stasiun televisi.

Inilah premis awal yang harus kita pahami, bahwa stasiun televisi menempatkan rating sebagai tuhan. Sederhananya, apapun yang dikehendaki pasar, itulah yang akan ditampilkan di layar kaca. Sehingga amat wajar bila stasiun televisi pun berlomba-lomba terus mencari format program yang diinginkan pemirsa, bahkan meski sampah sekalipun.
Tidak mengherankan bila kini stasiun-stasiun pun beramai-ramai melakukan make-over menjelang Ramadhan. Saat program-program bernafaskan Islam sedang booming, mereka pun melakukan berbagai “penyesuaian diri”. Ada yang secara halus menyesuaikan programnya agar terlihat Islami. Namun, tak jarang pula berbagai program khusus Ramadhan sengaja disiapkan demi Ramadhan. Pilihan kedua inilah yang lazimnya diidolakan stasiun-stasiun televisi di Indonesia.

Tak berhenti di stasiun televisi. Elemen-elemen yang sering menghiasi layar kaca pun turut serta mendadak alim. Artis misalnya, sebagai publik figur tentu mereka tak ingin tampil “biasa” di depan pemirsa. Harus ada sesuatu yang bisa mereka tonjolkan. Momentum Ramadhan ini lah yang mereka gunakan untuk menonjolkan diri. Penggunaan busana Islami, lafadz-lafadz Islami dan bakti sosial misalnya jadi penjelas indikasi tersebut. Kesemua hal tersebut secara tidak langsung tentu amat membantu mengkatrol popularitas mereka.

Selain, kalangan artis. Para penyanyi dan grup band juga mengalami fenomena ini. Bukti paling konret dapat dilihat lewat belasan bahkan puluhan album religi (baca: Islami) yang dirilis pada bulan Ramadhan ini. Pada kasus ini, memang ada beberapa musikus yang memiliki spesialisasi album Ramadhan, namun tidak sedikit pula yang latah karena melihat potensi pasar album religi yang ternyata sangat besar. Bahkan, musikus tipikal kedua ini jauh lebih banyak dari tipikal yang pertama.

Kesemua hal di atas begitu dilematis. Di satu sisi, syiar Islam menjadi makin semarak. Sedangkan, patut disayangkan pula bila melihat subyek dakwah (baca: dai) yang belum bisa dijadikan teladan. Mengingat kebanyakan dari mereka seringkali hanya menggunakan momentum ramadhan untuk “alim” sejenak, kemudian kembali menjadi lazimnya artis di lain waktu.

Opini ini memang terkesan amat menghakimi. Namun, diriku berinisiatif untuk menyentil kesadaran kita akan realitas media, khususnya dalam tataran dakwah. Bahwa dakwah adalah tuntunan, bukan tontonan. Dakwah lewat media, khususnya televisi, tidak boleh sekedar menghibur pemirsa dengan hal-hal yang berbau hiburan. Namun, juga pada tataran yang serius untuk mendidik tanpa lupa juga tetap menjaga konsistensinya di bulan-bulan lain. sekali lagi bukan aku mau sinis lho...tapi...ya tak apalah banyak perubahan ke arah baik selama ramadhan, karena ramadhan adalah bulan suci...bulan pengampunan ... ironisnya setelah ramadgan para artis lheeeerrr....bikini ria!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar