Kamis, 05 November 2009

\ marjinalisasi horor wanita \




Pada tahun 1970-an, ketika genre horor mulai laku di pasaran film Indonesia, sosok perempuan mulai menampakkan dominasi yang jelas. Satu nama perempuan yang tak bisa dilepaskan dari kisah film horor tahun 1970-an adalah Suzanna. Artis bernama lengkap Suzanna Martha Frederika van Osch ini adalah figur yang dijuluki sebagai “Ratu Film Horor Indonesia” karena keterlibatannya dalam sejumlah produksi film bertema hantu yang bisa dibilang menuai sukses di pasaran.

Sejak membintangi Beranak dalam Kubur tahun 1971, nama Suzanna memang melambung dalam jagat film horor Indonesia. Ada sekira 14 film horor yang dibintanginya yang menangguk sukses besar. Bahkan, beberapa bulan sebelum meninggal pada 15 Oktober 2008 lalu, Suzanna masih membintangi sebuah film horor dengan judul Hantu Ambulance.
Pada tahun 1990-an, sejumlah film seperti Misteri Permainan Terlarang (1992), Kembalinya Si Janda Kembang (1992), Misteri di Malam Pengantin (1993), Gairah Malam (1993), Si Manis Jembatan Ancol (1994), dan sejumlah judul lain juga menampilkan kisah horor dengan perempuan sebagai unsur utama. Memasuki dekade 2000, memang film horor tak lagi selalu menggunakan perempuan sebagai pusat kisah, seperti Jelangkung (2002) dan Kafir (2002), tapi tetap ada film yang memanfaatkan perempuan sebagai unsur dominan kisah.

Dalam film-film horor Indonesia, representasi perempuan cenderung berbeda-beda dalam tiap dekade. Namun, meski memliki variasi, ada kecenderungan perempuan ditampilkan sebagai sosok yang marjinal jika dibandingkan laki-laki. Pada tahun 1970-an sampai dengan 1990-an, kebanyakan kisah film horor berpusat pada tokoh perempuan yang teraniaya sampai mati, lalu menjadi hantu gentayangan.
Tatkala masih hidup dan eksis sebagai manusia, perempuan adalah makhluk yang tak berdaya di hadapan laki-laki. Perlawanan para perempuan terhadap laki-laki hanya bisa dilakukan ketika mereka telah meninggal dan menjadi hantu.

Setelah menjadi hantu, para perempuan itu baru bisa membalas perlakuan para laki-laki atas mereka. Dalam film-film itu sering digambarkan sejumlah lelaki bejat mati secara mengenaskan di tangan arwah perempuan gentayangan. Sekilas, racikan kisah macam ini seolah menampilkan sosok perempuan yang mampu membalas penindasan yang diterimanya dari kaum laki-laki. Tapi kalau diamati lebih dalam, nyatalah bahwa film itu memosisikan perempuan sebagai sosok marjinal.
Kenapa? Sebab perlawanan perempuan terhadap laki-laki itu hanya terjadi ketika sang perempuan telah meninggalkan dunia yang nyata dan menjadi arwah. Selama masih menjadi manusia, perempuan adalah sosok tak berdaya. Melalui kisah macam itu, film-film horor Indonesia pada 1970-an sampai 1990-an sebenarnya merepresentasikan sosok perempuan sebagai manusia tak berdaya. Ya, sebagai manusia yang eksis, perempuan tak berdaya. Baru kemudian, jika mereka mati dan menjadi hantu, mereka akan berubah jadi sosok yang berdaya. Pada posisi inilah, marjinalisasi terhadap perempuan terjadi di dalam film-film horor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar