Kamis, 12 November 2009

\ R B T \




Di negara-negara maju, sudah banyak tersedia portal yang menjual album-album secara digital. Di Indonesia, portal sejenis nyaris tidak ada. Kalaupun ada masih banyak kendala yang membuat masyarakat enggan mengunduh lagu secara legal, mulai dari soal akses internet sampai tentu saja mudahnya mendapat album bajakan dengan harga murah (dengan hanya membayar Rp. 5.000,- untuk sebuah CD atau MP 3 bajakan yang bisa berisi 100 lagu, tentu lebih menguntungkan dari pada membayar dengan harga yang sama untuk men-download secara legal sebuah lagu milik seorang artis).

Siasat lainpun ditempuh para produser rekaman Indonesia. Sulitnya berjualan album, baik fisik maupun digital secara resmi membuat mereka mengalihkan sasaran pada Ring Back Tone atau RBT alias nada tungga pada telepon genggam. RBT hingga saat ini dipercaya menjadi satu-satunya perangkat jual lagu yang masih bebas dari pembajakan.
Hasil penjualan RBT memang bisa membuat artis, musisi dan juga label musik sedikit lega. Keberhasilan beberapa musisi mengumpulkan pendapatan yang relatif lumayan dari RBT bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Lihat saja hasil yang didapat grup musik Vagetoz yang mencapai 12 M.

Hasil besar dari RBT memang sangat mungkin dinikmati para artis dan musisi selain tentunya label dan operator telepon genggam.
Para penyedia jasa RBT atau operator telepon selular mengaku hasil dari penggunaan nada tunggu mencapai 2% dari total omset mereka. Telkomsel misalnya, yang menyediakan fasilitas nada tunggu NSP 1212, diperkirakan mengantongi hasil hingga Rp. 776 milyar hanya dari nada tunggu.
Hasil RBT tentu tidak hanya mengisi pundi-pundi operator telepon selular. Sang artis juga menikmati hasil yang tidak sedikit karena dari setiap pelanggan yang mengunduh sebuah lagu dengan durasi 40 detik, mereka mendapat Rp. 1000,-.
Jumlah itu, setara dengan royalti sebuah album kaset atau CD. Label pun ikut menikmati manisnya RBT karena biasanya mereka mendapat 50%.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar