


Kota yang tak pernah mati memang layak disandang Jakarta. Kehidupanya menyajikan tontonan tidak hanya di siang hari, tetapi juga malam harinya. Dari aura yang paling religius sampai ajang jual beli tiket menuju neraka. Dari gegap gempita barisan panjang jamaah pengajian sampai cerita hitam Muammar Emka tentang kehidupan kelam di balik layar. Menjelajahi malam di pelosok Jakarta ibarat memasuki labirin dunia baru yang menarik, eksotik, dan pelik. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.
Salah satu symbol yang paling kentara dari Jakarta adalah deretan Mall dan pusat perbelanjaan yang berderet di hampir semua ruas jalan ibukota. Di siang hari mereka adalah pembunuh bagi para pedagang pasar dan penjual barang di kaki lima. Di malam harinya, mereka adalah magnet bagi ribuan anak manusia. Ada banyak kenikmatan yang bisa direguk di sana. Dari sekedar acara makan malam keluarga, kencan dengan pacar, kurang kerjaan, atau sekedar mencoba menikmati dunia yang berbeda dibandingkan dengan duduk di warung tenda kaki lima. Atau kita juga bisa memilih makanan kecil sebagai pendamping aroma asap sisha beraneka rasa. Pojok-pojok ruangan remang-remang siap menawarkan tempat yang romantis, privacy, dan terutama bebas bagi siapa saja yang sanggup membayarnya.
Dunia malam tidak hanya di mall yang (ternyata) terbata waktunya. Kalau kita hendak menyaksikan dunia malam sesungguhnya, sejenak bergeraklah menyusuri jalanan Jakarta. Salah satunya di bilangan Kemang. Deretan mobil-mobil beraneka jenis lalu lalang mencari tempat singgah. Dari kafe-kafe dan diskotik yang tidak terlalu kentara jika dilihat dari tepi jalan maupun barisan perempuan penjaja diri di pinggiran jalan. Kalau mau lebih sinting sedikit untuk masuk kesalah satu tempat saja, mungkin kita bakal bisa menjumpai dunia gangster, prostitusi, taman-lawang-snarkotika, sampai jual beli senjata seperti di film-fim laga.
Di bilangan Kemang juga, disinyalir jadi tempat kongkow bagi mereka penyuka sesama. Sebuah Kafe yang lumayan besar di pinggiran jalan. Dan jika kocek masih terlalu tipis untuk ‘jajanan’ yang kelewat mahal tersebut, bisa juga mencari pasangan ‘sejenis’ di kawasan Taman Lawang. Nah di situ para waria berderet macam jemuran di samping rumah.
Namun tak semua kehidupan malam Jakarta identik dengan sesustu yang kelam. Di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, di bawah temaram lampu jalanan kita bisa menemukan sekelompok orang yang nongkrong sambil ngobrol ngalor ngidul. Kadang dengan sumpah serapah khas daerah. Itulah komunitas Bundaran Hotel Indonesia (BHI). Anak-anak daerah yang galau dengan kehidupan individualisme Jakarta. Di BHI, mereka bisa lepas bercerita, guyon, sambil memesan wedang jahe dan makanan seharga tak lebih dari 5000 perak. Ada romatisme yang timbul, paling tidak itu yang terlihat dari roman muka pasangan muda mudi yang terlihat di sana. Memandang angkasa di bawah pantulan sinar rembulan dan cahaya lampu jalanan ibu kota. Di tempat yang pada siang harinya sering digunakan sebagai tempat mahaiswa berunjuk rasa.
Dan jika bundaran HI masih terasa kurang, maka Taman Monas terbuka bagi siapa saja yang mau menjelajahinya di tengah malam suntuk. Pahatan apinya terasa lebih hidup di bawah rembulan yang makin tak berbentuk. Di bawah pohon-pohon yang temaram, banyak terlihat pasangan muda mudi asyik memadu janji (moga-moga gak diganggu kalajengking atau ulet bulu).
Menjelang subuh, puluhan bahkan ratusan masjid di ibukota siap menawarkan diri bagi hamba-hamba Tuhan yang ingin mendekat pada-Nya. Dari Istiqlal yang berdiri tegak di dekat stasiun Juanda, ataupun masjid ternama lainya semisal Cut Mutia ataupun Sunda Kelapa. Di Masjid Agung Sunda Kelapa. Lantunan suara Imam sholatnyapun lumayan enak didengar. Selepas subuh, di depan masjid sudah mulai buka satu-dua warung tenda menjajakan makanan dan minuman untuk sarapan.
Dan saat pagi kembali menjelang, roda kehidupanpun berganti. Mereka yang berkuasa sepanjang malam harus rela memberikan giliranya bagi yang muncul keesokan paginya. Sebuah kehidupan yang tak jauh berbeda, karena siang di Jakarta juga menawarkan kebajikan dan sekaligus kedustaan. Inilah Jakarta, dunia penuh eksotisme yang bisa menyeret kita jatuh dalam Lumpur kehinaan. Namun juga oase yang sanggup menggodok kita untuk semakin dekat pada yang maha kuasa. Hari itu satu malam terlewati di sebagain kecil Jakarta. Semoga mentari pagi bersinar lebih cerah di pagi ini….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar